LATAR BELAKANG BERDIRINYA
PAGUYUBAN SRI NGAWI
Hasil produksi pertanian, khususnya pertanian padi dari tahun ke
tahun mengalami penurunan, sementara itu sebaliknya biaya produksi dari
tahun ke tahun semakin tinggi. Beberapa teknologi pertanian sudah
berusaha diterapkan, baik oleh Dinas Pertanian Kab. Ngawi maupun yang
diterapkan langsung oleh petani, bahkan pengembangan tanam benih hibrida
pun menjadi tren saat ini, kebanyakan itu semua mereka lakukan hanya
dengan satu tujuan untuk meningkatkan hasil produksi pertanian. Jarang
atau boleh dikatakan tidak pernah mereka berfikir bagaimana efek dari
semua teknologi yang mereka pergunakan tersebut, utamanya penggunaan
pupuk/pestisida kimia terhadap dirinya maupun hasil dari pertanian
mereka.
Dengan revolusi hijau yang pernah dilakukan pemerintah, sekitar tahun
1980-an kita penah mengalami swasembada beras secara nasional.
Penggunaan pupuk kimia yang pada tahun 1970 masih sangat sedikit
volumenya, semenjak tahun 1980an mengalami kenaikan rata-rata 250 Kg/Ha,
tahun 1990 menjadi 350 Kg/Ha dan tahun 2000-an penggunaannya rata-rata
700 Kg/Ha. Melihat peningkatan volume penggunaan pupuk seperti ini,
tidak menutup kemungkinan volume akan semakin bertambah untuk
tahun-tahun mendatang.
Hal tersebut masih di barengi dengan penggunaan pestisida kimia yang
juga dari waktu ke waktu semakin bervariasi bahkan tidak jarang dalam
satu kali penyemprotan 3-4 jenis pestisida dioplos menjadi satu, karena
ada keyakinan jika jumlah pupuk kimia dan variasi pestisidanya banyak,
hasilnya pun akan meningkat.
Dengan perlakuan petani seperti digambarkan di atas, maka kondisi
lahan pertanian saat ini pun mengalami penurunan kualitas kesuburan
tanah, baik struktur dan teksturnya. Tanah semakin miskin unsur hara,
lebih keras, tidak dapat mengikat air dan sebagainya. Belum lagi adanya
peledakan hama yang disebabkan oleh semakin resistennya hama tersebut
akibat pemakaian pestisida kimia yang berlebihan.
Alih-alih produksi pertanian meningkat, malah sebaliknya yang terjadi
saat ini produksi pertanian cenderung menurun (stagnan), sementara
kebutuhan pupuk kimia semakin meningkat, belum lagi faktor kelangkaan
pupuk, perubahan musim yang ekstrim, dimana musim hujan saat ini tidak
ubahnya seperti musim kemarau, sementara musim kemarau sangat-sangat
panas sekali, persediaan air yang sangat terbatas, dan masih banyak lagi
persoalan yang harus dihadapi oleh pelaku usaha tani lebih khusus lagi
para petani kita.
Melihat kondisi seperti itu, pada tanggal 1 Oktober 2006, bertempat
di Dusun Crawuk, Desa Sidomakmur, Kecamatan Widodaren Kabupaten Ngawi
dibentuklah PAGUYUBAN SRI NGAWI, yaitu tempat
belajarnya para petani yang sadar akan bahayanya penggunaan
pupuk/pestisida kimia, sekaligus memperkenalkan sistem baru untuk
pertanian khususnya pertanian padi yang disebut SRI (System of Rice Intensification)
yang telah dikembangkan sejak akhir tahun 2003. Paguyuban ini
menitikberatkan pada pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,
yakni cara bertani yang tetap memperhatikan agroekosistem secara
holistik dengan penggunaan pupuk organik dan biopestisida yang semuanya
itu telah tersedia di lingkungan sekitar kita yang memang diciptakan
Tuhan untuk dipergunakan oleh kita semua, serta penggunaan sistem baru SRI (System of Rice Intensification) dalam pola bercocok tanam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar